Thursday, February 16, 2017

sejarah perkembangan hortikultura di Indonesia (Tehnik Budidaya Tanaman Holtikultura)

Nama              : Novita Risti Azahra
NPM/ Kelas   : 1525010234 / D25

Sejarah Perkembangan Hortikultura Di Indonesia
Perubahan gaya hidup dan cara pandang terhadap pangan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang akan berubah.  Kecenderungan karakter konsumen yang akan terjadi pada masa depan dan sudah mulai dapat dirasakan saat ini antara lain adalah tuntutan konsumen terhadap keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan komoditas hortikultutra akan meningkat pesat.  Pada masa depan akan semakin banyak orang yang makan di luar rumah, dan semakin banyak makanan instan di rumah.  Keamanan dan mutu pangan akan menjadi isu penting, walaupun mungkin ketahanan pangan masih menjadi isu yang tidak kalah penting.
Pasar modern di Indonesia (hypermarket, supermarket, minimarket) akan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi.  Walaupun jumlah supermarket chain besar berkurang, tetapi yang bertahan makin besar, sehingga keseimbangan kekuatan bergesar dari produsen (petani) ke perusahaan multinasional.  Kondisi ini akan menyebabkan adanya kompetisi antara produk hortikultura domestik dengan produk impor (yang sering kali lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah).  Tuntutan konsumen terhadap produk hortikultura pada masa depan akan semakin meningkat, sehingga mau tidak mau, akan mempengaruhi kecenderungan manajemen produksi tanamanan.  Tuntutan konsumen tersebut antara lain adalah:
1.      Produk hortikultura harus benar-benar aman, bebas dari cemaran, racun, pestisida, & mikroba berbahaya bagi kesehatan.  Aturan mengenai batas maksimum residu (MRL = maximum reside limit) pestisida akan semakin ketat, sehingga akan mempengaruhi pengelolaan dalam perlindungan tanaman.  Produk hortikultura pangan juga harus bebas dari kandungan zat berbahaya, termasuk logam berat dan racun.  Keracunan sianida dari singkong, Hg dari ikan, Pb dari kangkung dan sebagainya tidak akan terjadi lagi.  Produk juga harus bebas dari berbagai cemaran.  Bahan pengawet dan pewarna yang tidak diperuntukkan untuk pangan, seperti formalin, tidak akan digunakan sama sekali.  Kasus pencampuran minyak solar ke CPO seperti yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu tidak akan terjadi lagi.  Cemaran biologi, baik yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun bagi pertanian akan dicegah.  Sanitary and Phytosanitary Measures akan semakin diperketat di karantina.
2.      Produk hortikultura juga dituntut mempunyai nilai gizi tinggi dan mengandung zat berkhasiat untuk kesehatan.  Konsumen menghendaki informasi mengenai kandungan fitokimia yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan dalam produk hortikultura.  Karena itu penelitian mengenai manfaat buah dan sayur Indonesia perlu mulai segera dilakukan.  Pengetahuan indigenous mengenai manfaat produk buah dan sayur perlu dibuktikan secara ilmiah dan diketahui apa fitokimia yang terkandung di dalamnya.
3.      Produk hortikultura juga harus mempunyai mutu tinggi, tidak sekedar enak.  Mutu adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau derajat keunggulan sesuatu produk.  Mutu atau kualitas juga dapat dipahami sebagai kecocokan suatu produk dengan tujuan dari produksi.  Dengan demikian, mutu merupakan gabungan dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang memberikan nilai kepada setiap komoditas yang terkait dengan maksud penggunaan komoditas tersebut.  Secara singkat mutu termasuk semua hal yang dapat memuaskan pelanggan.  Menurut versi Codex Alimentarius, Standar mutu termasuk masalah tampilan produk seperti keutuhan, keseragaman, kebebasan dari cacat, hama dan penyakit, tingkat kematangan, kesegaran, kebersihan, ketahanan dalam transportasi dan penanganan, dan kemampuan agar mutu produk bertahan tetap baik sampai tujuan.  Kelas, kode ukuran, kemasan dan label juga menjadi hal yang penting dalam mutu produk.  Produsen hortikultura perlu melakukan pembenahan dalam sistem produksinya agar dapat memenuhi kepentingan konsumen.
4.      Produk hortikultura harus diproduksi dengan cara yang tidak menurunkan mutu lingkungan.  Tuntutan terhadap kelestarian lingkungan akan semakin ketat, padahal pada saat yang sama tekanan populasi terhadap sumberdaya lahan semakin kuat.  Karena itu, peneliti Indonesia perlu mengembangkan teknologi pertanian yang dapat menjamin produksi pangan yang memenuhi tututan konsumen namun tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, mencegah pencemaran tanah dan air, mencegah erosi dan hal-hal lain yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.
5.      Produk hortikultura juga harus diproduksi dengan memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan petani dan pekerja.
6.      Mempunyai Traceability.  Cara produksi hortikultura harus dapat dirunut dari pasar sampai kebun.  Data-data harus transparan dan jujur.  Karena itu, catatan aktivitas di kebun dan rantai pasar harus menjadi perhatian.
7.      Produk hortikultura harus tersedia dalam waktu yang tepat.  Selain persyaratan di atas, produk hortikultura harus tersedia dan tepat waktu.  Untuk produk hortikultura tertentu kontinyuitas penyediaan menjadi faktor yang sangat penting.
8.      Harga jual produk hortikultura harus kompetitif.  Untuk itu efisiensi dalam produksi, dalam delivery harus dilakukan.  Harus dikembangkan supply chain management (SCM) yang berkeadilan dan berorientasi pada nilai produk.
Berdasarkan tuntutan konsumen, terdapat beberapa masalah dan beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pertanian hortikultura Indonesia.  Tantangan ini harus dijawab oleh para ilmuwan hortikultura Indonesia.  Tantangan tersebut meliputi:
1.      Bagaimana menghasilkan produk hortikultura dengan harga yang wajar bagi populasi yang terus bertambah.
2.      Bagaimana meningkatkan hasil per satuan luas (produktivitas); karena perluasan areal sudah semakin sulit.
3.      Bagaimana menghasilkan lebih banyak produk hortikultura dengan menggunakan air lebih sedikit.
4.      Bagaimana menghasilkan produk hortikultura yang lebih aman, bermutu dan bernilai bagi konsumen.
5.      Bagaimana menghasilkan produk hortikultura tanpa menurunkan potensi sumberdaya lahan dan lingkungan.
6.      Bagaimana cara menjamin ketersediaan yang kontinyu produk hortikultura yang secara alami bersifat musiman.
7.      Bagaimana menghasilkan produk hortikultura yang mensejahterakan petani.
Bagaimana meningkatkan daya saing global hortikultura Indonesia.  Seperti diuraikan di atas, daya saing produk hortikultura akan ditentukan oleh kuantitas, kualitas, keamanan, kontinyuitas pasokan, ketepatan delivery, kompetitif dalam harga, dan adanya traceability.

Kehadiran buah-buahan di dalam menu sehari-hari bangsa kita sudah dikenal sejak zaman dahulu. Pada awalnya, buah-buahan seperti durian, duku, langsat, manggis, dan sebagainya, tumbuh liar tanpa banyak campur tanga manusia. Demikian pula halnya dengan berbagai jenis pohon-pohonan, baik yang berfungsi sebagai peneduh (sawo kecik, ketapang, dadap, waru), penghasil sayuran (melinjo, keluwih, nangka), ataupun penghasil buah (rambutan, kelengkeng, jeruk).Dengan masuk dan menetapnya orang-orang Eropa ke Indonesia, maka dikembangkanlah sayuran dataran tinggi, seperti tomat, kentang, kubis, wortel, dan lain-lain; serta juga bunga-bunga khas Eropa, seperti mawar, glidol, anyelir, dan garbera. Pengembangan tanaman tersebut terdapat di indonesia terutama di Bandung (Pengalengan dan Lembang), Wonosoba (Dieng), Yogyakarta (Kaliurang), semarang (Bandungan dan Kopeng), Malang (Punten dan Pujon), Tengger (Nangkajajar, Tosari dan Ngadisari) Sulawesi Selatan (Malino), Bali (Budugul), dan Karo (Brastagi).
Sementara itu, dalam hal buah-buahan tidak banyak buah-buah daerah subtropis yang masuk ke indonesia, kecuali kesemek.  Dengan peningkatan perdagangan di zaman kolonial, sejumlah buah-buahan telah diekspor, misalnya pisang Banyuwangi di ekspor ke Australia. Pada masa itu, para ahli bangsa Belanda sudah mulai mempelajari syarat-syarat ekologi tanaman buah-buahan Indonesia. Setelah masa perang, kebanyakan para ahli tersebut keluar dari Indonesia dan mengembangkan pengetahuan mereka di Florida hingga ke California. Sementara ilmu hortikultura, terutama buah-buahan, di indonesia tidak bertambah.
Setelah kemerdekaan, pola pengembangan tanaman hortikultura masih melajutkan cara Belanda dan tidak banyak kemajuan yang dicapai. Sementara itu, kenaikan pendapatanper kapita masyarakat akibat “boom” minyak membuat konsumsi sayuran dan buah-buahan cukup tinggi. Hal ini beerdampak pada meningkatnya impor buah-buahan seperti apel, jeruk orange, dan anggur. Namun, pada saat yang bersamaan pembinaan dan pengembangan pertaniandi indonesia sedang difokuskan pada swasembada pangan, khususnya beras, sehingga perhatian untuk pengembangan hortikultura sangat kecil. Di samping itu, sejak tahun1960 banyak areal pertanaman jeruk terserang penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Sampai dengan tahun 1981 diperkirakan 10 juta pohon jeruk terserang penyakit ini dengan kehilanganproduksi sekitar 10.000 ton buah segar per tahun. Daerah yang mendapat serangaan berat adalah Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Laampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Setelah tercapainya swasembada pangan dan kurangnya perhatian akan pengembangan hortikultura mulai disadari, muncullah kebijaksanaan pemerintahuntuk membatasi impor buah-buahan pada tahun 1981. Hal ini berbarengan dengan meningkatnya apresiasi terhadap buah –buahan tropis (mangga, manggis, avokad, nanas, dan rambutan) di Eropadan di negara-negara maju. Pada waktu yang bersamaan pula di dalam negeri sedang dilanda demam jaambu Bangkok, pepaya bangkok, durian bangkok, dan buah-buahan  Lain yang serba “bangkok”. Dengan demikian, dimulailah agribisnis di bidang buah-buahan untuk tujuan ekspor, misalnya dalam bentuk jus (mangga, markisa, jambu biji), buah segar (manggis, rambitan), dan buah kalengan (nenas).
Berkembangnya pariwisata, perhotelan, dan restoran-restoran cepat saji (fast food) gaya Amerika, Jepang, dan Korea serta bermunculannya supermarket (pasar swalayan) menyebabkan sayur-sayuran tertentu yang dulunya belum penting (misalnya jagung manis, brokoli, timun jepang, selada, jamur) mendapatkan pasaran yang cukup baik. Konsumsi sayuran tidak lagi tergantung pada menu Cina dan Eropa yang selama  ini dikenal, namun dengan berkembangnya sayur asem dan lalap-lalapan di restoraan-restoran dan tempat-tempat pesta yag berdampak pada meningkatnya permintaan aka produk sayuran seperti labu siem dan daun-daunan. Seiring dengan itu, berkembanglah usaha sayuran berpola agribisnis dengan teknologi canggih seperti budidaya hidroponik (misalnya tomat, kangkung, bayam) serta pemanfaatan teknik kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman (misalnya kentang). Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dilakukan intensifikasi dan diversifikasi pekarangan, terutama dengan jenis-jenis sayuran yang bernilai gizi tinggi (misalnya bayam, kangkung, katuk).
Daftar pustaka

No comments:

Post a Comment