Nama :
Novita Risti Azahra
NPM/ Kelas :
1525010234 / D25
Sejarah Perkembangan Hortikultura Di Indonesia
Perubahan gaya hidup dan cara pandang terhadap pangan
masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang akan berubah.
Kecenderungan karakter konsumen yang akan terjadi pada masa depan dan sudah
mulai dapat dirasakan saat ini antara lain adalah tuntutan konsumen terhadap
keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan komoditas
hortikultutra akan meningkat pesat. Pada masa depan akan semakin banyak
orang yang makan di luar rumah, dan semakin banyak makanan instan di
rumah. Keamanan dan mutu pangan akan menjadi isu penting, walaupun
mungkin ketahanan pangan masih menjadi isu yang tidak kalah penting.
Pasar modern di Indonesia (hypermarket,
supermarket, minimarket) akan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang
sangat tinggi. Walaupun jumlah supermarket chain besar
berkurang, tetapi yang bertahan makin besar, sehingga keseimbangan kekuatan
bergesar dari produsen (petani) ke perusahaan multinasional. Kondisi ini
akan menyebabkan adanya kompetisi antara produk hortikultura domestik dengan
produk impor (yang sering kali lebih berkualitas dengan harga yang lebih
murah). Tuntutan konsumen terhadap produk hortikultura pada masa depan akan
semakin meningkat, sehingga mau tidak mau, akan mempengaruhi kecenderungan
manajemen produksi tanamanan. Tuntutan konsumen tersebut antara lain
adalah:
1. Produk hortikultura harus
benar-benar aman, bebas dari cemaran, racun, pestisida, & mikroba berbahaya
bagi kesehatan. Aturan mengenai batas maksimum residu (MRL = maximum reside limit) pestisida akan semakin
ketat, sehingga akan mempengaruhi pengelolaan dalam perlindungan tanaman.
Produk hortikultura pangan juga harus bebas dari kandungan zat berbahaya,
termasuk logam berat dan racun. Keracunan sianida dari singkong, Hg dari
ikan, Pb dari kangkung dan sebagainya tidak akan terjadi lagi. Produk
juga harus bebas dari berbagai cemaran. Bahan pengawet dan pewarna yang
tidak diperuntukkan untuk pangan, seperti formalin, tidak akan digunakan sama
sekali. Kasus pencampuran minyak solar ke CPO seperti yang terjadi pada
beberapa waktu yang lalu tidak akan terjadi lagi. Cemaran biologi, baik
yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun bagi pertanian akan dicegah. Sanitary and Phytosanitary Measures akan
semakin diperketat di karantina.
2. Produk hortikultura juga dituntut
mempunyai nilai gizi tinggi dan mengandung zat berkhasiat untuk
kesehatan. Konsumen menghendaki informasi mengenai kandungan fitokimia
yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan dalam produk hortikultura.
Karena itu penelitian mengenai manfaat buah dan sayur Indonesia perlu mulai
segera dilakukan. Pengetahuan indigenous mengenai manfaat produk buah dan
sayur perlu dibuktikan secara ilmiah dan diketahui apa fitokimia yang
terkandung di dalamnya.
3. Produk hortikultura juga harus
mempunyai mutu tinggi, tidak sekedar enak. Mutu adalah segala hal yang
menunjukkan keistimewaan atau derajat keunggulan sesuatu produk. Mutu
atau kualitas juga dapat dipahami sebagai kecocokan suatu produk dengan
tujuan dari produksi. Dengan demikian, mutu merupakan gabungan dari
sifat-sifat atau ciri-ciri yang memberikan nilai kepada setiap komoditas yang
terkait dengan maksud penggunaan komoditas tersebut. Secara singkat mutu termasuk
semua hal yang dapat memuaskan pelanggan. Menurut versi Codex
Alimentarius, Standar mutu termasuk masalah tampilan produk seperti keutuhan,
keseragaman, kebebasan dari cacat, hama dan penyakit, tingkat kematangan,
kesegaran, kebersihan, ketahanan dalam transportasi dan penanganan, dan
kemampuan agar mutu produk bertahan tetap baik sampai tujuan. Kelas, kode
ukuran, kemasan dan label juga menjadi hal yang penting dalam mutu
produk. Produsen hortikultura perlu melakukan pembenahan dalam sistem produksinya
agar dapat memenuhi kepentingan konsumen.
4. Produk hortikultura harus diproduksi
dengan cara yang tidak menurunkan mutu lingkungan. Tuntutan terhadap
kelestarian lingkungan akan semakin ketat, padahal pada saat yang sama tekanan
populasi terhadap sumberdaya lahan semakin kuat. Karena itu, peneliti
Indonesia perlu mengembangkan teknologi pertanian yang dapat menjamin produksi
pangan yang memenuhi tututan konsumen namun tetap dapat menjaga kelestarian
lingkungan, mencegah pencemaran tanah dan air, mencegah erosi dan hal-hal lain
yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.
5. Produk hortikultura juga harus
diproduksi dengan memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan petani dan
pekerja.
6. Mempunyai Traceability. Cara produksi hortikultura harus
dapat dirunut dari pasar sampai kebun. Data-data harus transparan dan
jujur. Karena itu, catatan aktivitas di kebun dan rantai pasar harus
menjadi perhatian.
7. Produk hortikultura harus tersedia
dalam waktu yang tepat. Selain persyaratan di atas, produk hortikultura
harus tersedia dan tepat waktu. Untuk produk hortikultura tertentu
kontinyuitas penyediaan menjadi faktor yang sangat penting.
8. Harga jual produk hortikultura harus
kompetitif. Untuk itu efisiensi dalam produksi, dalam delivery harus dilakukan. Harus dikembangkan supply chain management (SCM) yang berkeadilan dan
berorientasi pada nilai produk.
Berdasarkan tuntutan konsumen, terdapat beberapa
masalah dan beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pertanian hortikultura
Indonesia. Tantangan ini harus dijawab oleh para ilmuwan hortikultura
Indonesia. Tantangan tersebut meliputi:
1. Bagaimana menghasilkan produk
hortikultura dengan harga yang wajar bagi populasi yang terus bertambah.
2. Bagaimana meningkatkan hasil per
satuan luas (produktivitas); karena perluasan areal sudah semakin sulit.
3. Bagaimana menghasilkan lebih banyak
produk hortikultura dengan menggunakan air lebih sedikit.
4. Bagaimana menghasilkan produk
hortikultura yang lebih aman, bermutu dan bernilai bagi konsumen.
5. Bagaimana menghasilkan produk
hortikultura tanpa menurunkan potensi sumberdaya lahan dan lingkungan.
6. Bagaimana cara menjamin ketersediaan
yang kontinyu produk hortikultura yang secara alami bersifat musiman.
7. Bagaimana menghasilkan produk
hortikultura yang mensejahterakan petani.
Bagaimana meningkatkan daya saing global hortikultura
Indonesia. Seperti diuraikan di atas, daya saing produk hortikultura akan
ditentukan oleh kuantitas, kualitas, keamanan, kontinyuitas pasokan, ketepatan
delivery, kompetitif dalam harga, dan adanya traceability.
Kehadiran
buah-buahan di dalam menu sehari-hari bangsa kita sudah dikenal sejak zaman
dahulu. Pada awalnya, buah-buahan seperti durian, duku, langsat, manggis, dan
sebagainya, tumbuh liar tanpa banyak campur tanga manusia. Demikian pula halnya
dengan berbagai jenis pohon-pohonan, baik yang berfungsi sebagai peneduh (sawo
kecik, ketapang, dadap, waru), penghasil sayuran (melinjo, keluwih, nangka),
ataupun penghasil buah (rambutan, kelengkeng, jeruk).Dengan masuk dan
menetapnya orang-orang Eropa ke Indonesia, maka dikembangkanlah sayuran dataran
tinggi, seperti tomat, kentang, kubis, wortel, dan lain-lain; serta juga
bunga-bunga khas Eropa, seperti mawar, glidol, anyelir, dan garbera.
Pengembangan tanaman tersebut terdapat di indonesia terutama di Bandung (Pengalengan
dan Lembang), Wonosoba (Dieng), Yogyakarta (Kaliurang), semarang (Bandungan dan
Kopeng), Malang (Punten dan Pujon), Tengger (Nangkajajar, Tosari dan Ngadisari)
Sulawesi Selatan (Malino), Bali (Budugul), dan Karo (Brastagi).
Sementara
itu, dalam hal buah-buahan tidak banyak buah-buah daerah subtropis yang masuk
ke indonesia, kecuali kesemek. Dengan peningkatan perdagangan di
zaman kolonial, sejumlah buah-buahan telah diekspor, misalnya pisang Banyuwangi
di ekspor ke Australia. Pada masa itu, para ahli bangsa Belanda sudah mulai
mempelajari syarat-syarat ekologi tanaman buah-buahan Indonesia. Setelah masa
perang, kebanyakan para ahli tersebut keluar dari Indonesia dan mengembangkan
pengetahuan mereka di Florida hingga ke California. Sementara ilmu hortikultura,
terutama buah-buahan, di indonesia tidak bertambah.
Setelah
kemerdekaan, pola pengembangan tanaman hortikultura masih melajutkan cara
Belanda dan tidak banyak kemajuan yang dicapai. Sementara itu, kenaikan
pendapatanper kapita masyarakat akibat “boom” minyak membuat konsumsi sayuran
dan buah-buahan cukup tinggi. Hal ini beerdampak pada meningkatnya impor
buah-buahan seperti apel, jeruk orange, dan anggur. Namun, pada saat yang
bersamaan pembinaan dan pengembangan pertaniandi indonesia sedang difokuskan
pada swasembada pangan, khususnya beras, sehingga perhatian untuk pengembangan
hortikultura sangat kecil. Di samping itu, sejak tahun1960 banyak areal
pertanaman jeruk terserang penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration).
Sampai dengan tahun 1981 diperkirakan 10 juta pohon jeruk terserang penyakit
ini dengan kehilanganproduksi sekitar 10.000 ton buah segar per tahun. Daerah
yang mendapat serangaan berat adalah Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Laampung,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Setelah
tercapainya swasembada pangan dan kurangnya perhatian akan pengembangan
hortikultura mulai disadari, muncullah kebijaksanaan pemerintahuntuk membatasi
impor buah-buahan pada tahun 1981. Hal ini berbarengan dengan meningkatnya
apresiasi terhadap buah –buahan tropis (mangga, manggis, avokad, nanas, dan
rambutan) di Eropadan di negara-negara maju. Pada waktu yang bersamaan pula di
dalam negeri sedang dilanda demam jaambu Bangkok, pepaya bangkok, durian
bangkok, dan buah-buahan Lain yang serba “bangkok”. Dengan demikian,
dimulailah agribisnis di bidang buah-buahan untuk tujuan ekspor, misalnya dalam
bentuk jus (mangga, markisa, jambu biji), buah segar (manggis, rambitan), dan
buah kalengan (nenas).
Berkembangnya
pariwisata, perhotelan, dan restoran-restoran cepat saji (fast food) gaya
Amerika, Jepang, dan Korea serta bermunculannya supermarket (pasar swalayan)
menyebabkan sayur-sayuran tertentu yang dulunya belum penting (misalnya jagung
manis, brokoli, timun jepang, selada, jamur) mendapatkan pasaran yang cukup
baik. Konsumsi sayuran tidak lagi tergantung pada menu Cina dan Eropa yang
selama ini dikenal, namun dengan berkembangnya sayur asem dan
lalap-lalapan di restoraan-restoran dan tempat-tempat pesta yag berdampak pada
meningkatnya permintaan aka produk sayuran seperti labu siem dan daun-daunan.
Seiring dengan itu, berkembanglah usaha sayuran berpola agribisnis dengan
teknologi canggih seperti budidaya hidroponik (misalnya tomat, kangkung, bayam)
serta pemanfaatan teknik kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman (misalnya
kentang). Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dilakukan
intensifikasi dan diversifikasi pekarangan, terutama dengan jenis-jenis sayuran
yang bernilai gizi tinggi (misalnya bayam, kangkung, katuk).
Daftar pustaka